Writer Undercover, Kisah-kisah Pilu Profesi Penulis
Halo Jannati, masih semangat untuk berkarya, bukan? Harus dong, ya. Apalagi jika karyanya memberikan manfaat bagi diri, orang lain, agama, dan bangsa, eaaa. Duh kok jadi berat sih 😅 Jadi, sebenarnya pembahasan kali ini tentang writer undercover, semacam duka, kelam, kecut dan pahitnya menjadi penulis. Bukan untuk menakuti Jannati meraih cita-cita menjadi penulis, tetapi untuk memberikan wawasan pada para calon penulis terbaik. Harapannya, setelah membaca artikel ini Jannati bisa lebih mawas diri dan mengantisipasi kemungkinan mengalami hal yang sama.
Sharing session pada tanggal 25 September 2020 ini terasa spesial. Selain Jannati ditemani oleh Kak Miyosi Ariefiansyah, pro blogger di www.miyosiariefiansyah.com, juga ada coach Prita HW, founder The Jannah Institute yang akan menceritakan juga kisahnya. Seru sekali, bukan?
Kisah Kelam Menguji Nyali, Mental dan Kesabaran
Setiap pekerjaan tentu memiliki suka dan duka. Begitu juga dengan penulis. Hanya saja saat Jannati memilih berkecimpung di dunia tulis menulis, maka harus siap dengan segala konsekuensi dan ketidaknyamanan yang mengikuti.
Ada dua kategori pengujian kesabaran yang dialami penulis internal dan eksternal. Faktor internal masih dibagi lagi menjadi tiga bagian, yakni yang berhubungan dengan upah, perasaan, dan asumsi.
Ada banyak kejadian dibalik writer undercover yang berhubungan dengan upah, yakni :
Tidak dibayar. Hal ini pernah dialami oleh Kak Prita, dimana ia diminta untuk menulis dua buku solo yang cukup menghabiskan waktu. Namun, saat buku sudah selesai untuk menuju proses selanjutnya, tidak ada kejelasan untuk pembayarannya. Bahkan hingga artikel ini ditulis, ketidakjelasan ini sudah mencapai lebih dari setahun lamanya. Sedih ya, Jannati. Semoga Kak Prita segera mendapatkan kabar baiknya, ya.
Dibayar dengan harga di bawah harga pasar. Hal ini pernah dialami oleh teman Kak Miyosi. Dimana harga artikel untuk 1000 kata hanya dibayar Rp. 10.000 saja. Belum lagi kata Kak Prita, kalau ada yang juga meminta keyword kata tertentu. Sungguh menyebalkan.
Seperti yang Jannati ketahui, proses menulis itu tidak mudah. Ada proses pencarian ide, pembuatan outline, eksekusi, swasunting, hingga tahap akhir. Semuanya membutuhkan energi yang tidak bisa diremehkan. Lagipula tidak semua orang memiliki kemampuan tersebut. Jadi, upah yang diberikan haruslah pantas.
Hati-hati jika Jannati mengambil proyek di projects.com, sribulancer.com, freelancer.com dan platform semacamnya. Karena meski sudah ada portofolio, masih ada oknum yang memanfaatkan keluguan penulis baru dengan meminta contoh tulisan yang memiliki tema sama. Selanjutnya baru akan ditentukan akan terjalin kerjasama atau tidak. Kalau contoh tulisannya memang sudah Jannati lampirkan sebagai portfolio, atau tulsan dengan tema project yang akan dibuat nggak masalah. Tapi, jika tulisannya benar-benar baru sesuai brief yang diminta, lebih baik lakukan negosiasi ulang. Itu tips dari Kak Prita yang telah menjalani profesi sebagai freelance writer sejak 2010.
Kak Prita juga menambahkan, untuk saat ini, ia mungkin akan menerima pemesanan artikel dari projects.com atau sribulancer.com, dengan ketentuan per 700-1000 kata masing-masing seharga Rp. 30.000. Itu pun harus dalam jumlah besar, minimal 10-50 artikel setiap proyeknya.
Pembayaran terlambat
Pembayaran diselewengkan
Ikut lomba tetapi hadiah tidak manusiawi. Banyak sekali perlombaan-perlombaan yang seperti ini. Meski di awal sebenarnya tahu jika hadiahnya sekian. Namun, saat dijalani ternyata tidak sebanding.
Ikut lomba tapi berbayar. Tentu Jannati pernah mengetahui tentang hal ini. Jika dalam bentuk kelas menulis, yang pastinya Jannati diberi kritik dan saran penulisan tentu tidak apa-apa. Atau ada fasilitas lainnya.
Fee dicicil bahkan hingga bertahun-tahun lamanya.
Writer Undercover yang berhubungan dengan perasaan, ada tiga macam. Yakni :
Dikhianati (saat ada penulis lain meminta info terlihat ramah sekali, tetapi sayangnya ketika keinginannya sudah tercapai si pemberi info dilupakan begitu saja.),
Penulis cari muka,
Tulisan diplagiat, bahkan oleh website islami. Hal ini pernah pula terjadi di sebuah perlombaan kepenulisan, dimana tulisan tiba-tiba diterbitkan di empat website tanpa pemberitahuan kepada penulisnya. Apalagi ternyata sebenarnya naskah tersebut fiksi. Namun, dianggap non fiksi sehingga sempat menimbulkan konflik. Setelah diperingatkan, baru kemudian diturunkan. Hati-hati dengan plagiator ya, Jannati.
Mendapatkan kenyataan bahwa sikap tak sebaik tulisan.
Berhubungan dengan asumsi masyarakat terhadap penulis adalah dianggap pengangguran dan bukan sebuah profesi. Tak jarang Kak Miyosi sering diberi saran untuk mengikuti tes CPNS oleh keluarga dan kawan-kawan beliau. Sedih sekali ya, Jannati. Profesi penulis memang belum terlalu dianggap sebagai sebuah pekerjaan di Indonesia. Jadi, sabar saja, hehe.
Selanjutnya pengujian kesabaran dari faktor eksternal. Yakni faktor yang bukan dari dalam diri penulis. Terdiri dari :
Kegalauan saat menjadi ghost writer. Saat buku pesanan sudah terbit kemudian menjadi best seller, seorang ghost writer harus tetap tutup mulut. Padahal di dalam hati tentu saja terjadi kemelut yang tidak bisa diungkapkan. Inilah yang dialami Kak Miyosi saat itu.
Lalu, mengapa tetap ambil job ini? Alasannya adalah saat itu Kak Miyosi ingin mencoba hal yang baru, temanya cocok dengan beliau, dan fee yang diberikan tentunya. Oleh karena itu, Kak Miyosi tidak pernah menyesal, hanya terkadang merasa galau saja.
Ingin mengambil job sebanyak-banyaknya. Padahal belum tentu bisa mengerjakan semua.
Tergoda proyek pesanan daripada menyelesaikan proyek pribadi.
Manajemen Waktu
Saat ditanya tentang manajemen waktu, tentu setiap penulis berbeda-beda. Namun, seperti kata Dee Lestari saat seminar dan Kak Prita menjadi moderatornya, bahwa, “hidup saya lebih teratur saat saya sedang menulis.”
Sebagai seorang ibu dari balita, maka Kak Miyosi memilih untuk mengerjakan proyek pribadi, yakni menulis buku. Jika dulunya, ia bisa menulis satu buku dalam seminggu, maka sejak memiliki buah hati, ia menulis saat anaknya tertidur. Setiap hari, ia akan menulis sebanyak empat halaman. Mungkin akan lama untuk menjadi sebuah buku, tetapi untuk saat ini, itulah yang dirasa mampu dilakukan.
Tak begitu berbeda dengan Kak Prita. Ia akan menulis caption (meski panjang) sambil bermain dengan duo krucilnya. Karena memang sudah terbiasa, jadi tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama. Untuk blog, ia akan membuat draft dulu baru kemudian editing, menyertakan foto, dan penyempurnaannya dilakukan di lain waktu.
Untuk opini ke media, ia rutin melakukannya setiap bulan, satu dua artikel. Karena menulis opini lebih menguras pikiran, maka Kak Prita memilih untuk mencari referensi dulu, lalu mencatat intinya di notes. Baru jika sudah lengkap dieksekusi. Sedangkan untuk buku solo cenderung memakan waktu lebih lama sehingga menunggu jika duo krucilnya sudah bisa ditinggal.
Setiap penulis pasti menemukan waktu yang tepat untuk menuangkan idenya. Coba saja semuanya, kemudian Jannati pasti akan menemukan polanya.
Pesan Kak Miyosi jika tetap ingin menjadi content writer, maka lebih baik pakai bahasa Inggris. Karena pangsanya bisa lebih luas. Ia berharap suatu saat nanti, The Jannah Institute bisa memiliki kelas menulis Bahasa Inggris yang bekerja sama dengan mentor berpengalaman. Sehingga lulusannya bisa memiliki skill yang mumpuni untuk bersaing dengan penulis lainnya.
Baca Juga : Menulis Asik with Kak Miyosi
Berbeda dengan pesan dari Kak Prita, daripada menjadi content writer, lebih baik menjadi blogger yang di-monetized. Karena, untuk mendapatkan Rp. 300.000-500.000 seorang content writer harus menulis setidaknya 10-20 artikel, maka pada blog cukup menulis satu artikel saja.
Sebagai penutup, Kak Prita berpesan agar tetap semangat dan belajar menentukan prioritas. Jangan sampai stres gara-gara menulis.
Kontributor : Alan Zakiya Permana Wati (@alanzakiya)
Alumni Online Writing Class #2 dan Kelas Menulis Caption IG #4
0 komentar :
Posting Komentar